Belajar Memimpin dari Cerita Fiksi
Ketika pelajaran hidup didapat dari cerita tentang kerajaan khayalan dan sihir.
Banyak orang belajar kepemimpinan dari pengalaman kerja, pelatihan, mentoring, atau buku-buku Dale Carnegie. Tapi saya menemukannya justru di tempat yang tidak terduga: novel fantasi karya Brandon Sanderson.
Dari buku kedua trilogi Mistborn, saya menemukan tiga prinsip kepemimpinan yang cukup relevan untuk diaplikasikan di dunia nyata.
1. Tentang pentingnya praktik dibanding sekadar teori
“'A man can only lead when others accept him as their leader, and he has only as much authority as his subjects give to him. All of the brilliant ideas in the world cannot save your kingdom if no one will listen to them,’ said Tindwyl.
Elend turned. ‘This last year I’ve read every pertinent books on leadership and governance in four libraries.’
Tindwyl raised an eyebrow. ‘Then, I suspect that you spent a great deal of time in your room that you should have been out, being seen by your people and learning to be a ruler.’
‘Books have great value,’ Elend said.
‘Yes, but actions have greater value.’”
Saya merasa bisa relate dengan sosok Elend. Ia sangat senang membaca dan berdialog dengan cendekiawan lain.
Namun, ketika akhirnya menjadi seorang pemimpin, ternyata masih banyak hal yang tidak ia tahu dan kuasai. Di depan masalah serta krisis, ia begitu kebingungan dan hanya bisa berusaha mencari jawabannya di dalam buku.
Pesan Tindwyl benar-benar mengena: untuk menjadi pemimpin, buku saja tidak cukup. Kita harus bertemu dengan orang-orang yang kita pimpin dan belajar langsung lewat tindakan.
Seringkali hal yang kita baca terkesan sederhana, namun ternyata begitu susah untuk dipraktikkan.
2. Tentang rasa percaya diri dan ketegasan
“'You have no place for guilt. Accept that you’re king, accept that you can do nothing constructive to change that, and accept responsibility. Whatever you do, be confident – for if you weren’t here, there would be chaos.’
Elend nodded.
‘Arrogance, Your Majesty,’ Tindwyl said. ‘Successful leaders all share one common trait – they believe that they can do a better job than the alternatives. Humility is fine when considering your responsibility and duty, but when it comes time to make a decision, you must not question yourself.’"
Poin kedua yaitu pentingnya rasa arogan. Dalam hal ini, arogan bukan berarti sombong, merendahkan orang lain, atau suka pamer. Hubungannya adalah dengan kepercayaan diri.
Seorang pemimpin harus bisa decisive, terutama di hadapan masalah dan krisis. Bahaya terbesar bagi seorang pemimpin bukanlah membuat keputusan yang salah, melainkan tidak bisa membuat keputusan sama sekali.
Ketika tiba waktunya untuk membuat keputusan, ia tidak boleh mempertanyakan dirinya sendiri.
Tindwyl mengatakan, walaupun seorang pemimpin mengambil keputusan yang tidak tepat, ia harus cukup arogan untuk menganggap itu tetaplah hal terbaik dibanding alternatifnya.
Tidak ada seorang pemimpin yang selalu benar di dunia ini. Saya meyakini itu. Padahal bisa saja ia dihadapkan dengan banyak sekali masalah yang membutuhkan decision making tiap harinya.
Artinya, dari sekian banyak keputusan, pastilah berkali-kali ia mengambil jalan yang tidak tepat.
Namun pemimpin yang hebat bukanlah yang naif atau tidak mau mengakui itu adalah sebuah kesalahan. Ia tahu ia salah, tapi dengan tetap percaya diri ia bisa belajar dari situ, kembali bangkit dan melanjutkan hidup.
3. Tentang larangan menjadi people-pleaser
“‘My apologies, but it is not your duty to do what the people want.’
‘Well, I disagree with both of you,’ Elend said. ‘A ruler should only lead by the consent of the people he rules.’
‘I do not disagree with that, Your Majesty,’ Sazed said. ‘Or, at least, I do believe in the theory of it. Regardless, I still do not believe that your duty is to do as the people wish. Your duty is to lead as best as you can, following the dictates of your conscience. You must be true, Your Majesty, to the man you wish to become. If that man is not whom the people wish to have lead them, then they will choose someone else.’
‘Trying to guess what people wish of you will only lead to chaos, I think,’ Sazed said. ‘You cannot please them all, Elend Venture.’”
Poin terakhir adalah satu hal yang saya akui juga masih menjadi kelemahan saya: people pleaser. Menyenangkan semua orang. Bagaimana bisa? Bahkan Tuhan Yesus pun dibenci oleh orang Yahudi yang akhirnya menyalibkannya...
Saudara kembar yang lahir dan dibesarkan bersama-sama saja tidak mungkin selalu memiliki kemauan yang sama pula. Mustahil kita bisa mengetahui tiap keinginan dari tiap orang.
Mencoba menebak apa yang orang inginkan dari kita hanya akan menyebabkan kekacauan.
“Your duty is to lead as best as you can, following the dictates of your conscience. You must be true, Your Majesty, to the man you wish to become.”
Tugas seorang pemimpin adalah memimpin sebaik mungkin, mengikuti suara hati nuraninya. Ketika pemimpin itu memiliki visi, ketika ia tahu ingin menjadi apa, membawa yang dipimpinnya ke mana, ia tidak boleh goyah.
Ia tidak boleh mengorbankan visinya itu demi berusaha menyenangkan semua orang yang ia pimpin.
Kepemimpinan adalah proses panjang untuk memahami diri sendiri dan bertanggung jawab terhadap orang lain.
Tidak ada jalan yang selalu benar, tidak ada keputusan yang selalu tepat.
Namun, dari setiap kesalahan tersebut, seseorang bisa bertumbuh lebih baik, asalkan ia mau belajar dan terus melangkah.
Sama seperti tokoh Elend Venture, saya mendapat pelajaran ini dari membaca buku. Dan sama seperti nasehat yang disampaikan, buku saja tidak cukup.
Bertemu langsung, bertindak. Kita perlu saran dari orang lain, perlu masukan dan kritik, namun ketika saatnya ambil keputusan, yakini keputusan itu. Bertanggung jawab terhadap apapun yang terjadi setelahnya.
Miliki visi, mau menuju ke mana, lewat jalan apa, kenapa kita melakukan ini. Jangan korbankan visi hanya demi menyenangkan orang lain.
"You must be true to the man you wish to become."