Fiksi vs Non-Fiksi
Semakin ke sini, saya semakin cenderung lebih suka membaca buku fiksi.
Terutama akibat trilogi original Mistborn dari Brandon Sanderson yang begitu luar biasa, buku klasik seperti East of Eden, atau buku yang menyayat hati seperti A Thousand Splendid Suns-nya Khaled Hosseini.
Dulu saya pernah mempertanyakan apa gunanya membaca buku fiksi dibanding non-fiksi. Bukankah sama saja dengan menonton film di bioskop atau di streaming service?
Ternyata aktualnya jauh berbeda.
Penelitian menemukan bahwa otak kita lebih aktif ketika kita membaca ketimbang ketika kita menonton. Menurut saya logis karena ketika kita melihat tulisan, otak kita berimajinasi dan mengubahnya menjadi gambar di pikiran.
Saat seorang penulis menjelaskan apa yang dirasakan seseorang ketika ia berada di taman setelah hujan, merasakan tanah yang basah di telapak kaki, mencium wangi tanaman, atau melihat warna bunga yang beraneka ragam, otak kita berusaha untuk membayangkan itu semua.
Lalu, dari buku fiksi kita bisa melihat berbagai macam cara pandang. Apa yang seorang tokoh rasakan sebagai wanita di Afghanistan selama era Taliban. Bagaimana cara pandang seorang pencuri jalanan yang sebelumnya hanya bisa bergantung pada diri sendiri, namun kemudian diterima apa adanya dalam sebuah kelompok, sehingga ia belajar untuk percaya pada orang lain.
Kita bisa ikut dalam proses transformasi seorang remaja yang awalnya hanya suka membaca buku dan berdiskusi politik, lalu menjadi seorang pemimpin yang harus membawa rakyatnya keluar dari keterpurukan, perang, dan kelaparan.
Ketika kita belajar melihat cara pandang orang lain, kita juga belajar bagaimana bersimpati dan berempati.
Di dalam buku non-fiksi seperti autobiografi, kita bisa melihat perspektif seseorang. Di dalam buku fiksi, kita bisa melihat perspektif beberapa orang sekaligus.
Ditambah bonus cerita yang seru dan menegangkan tentunya.
Beberapa penelitian ternyata juga mendukung hal ini. Contohnya di Laboratorium Neurosains Sosial Princeton, di mana psikolog Diana Tamir menunjukkan lewat pemindaian otak, bahwa orang yang sering membaca fiksi memiliki lebih banyak aktivitas di bagian jaringan yang terlibat dalam mensimulasi apa yang dipikirkan atau dirasakan orang lain.
Artinya, selain melakukan kegiatan yang menghibur, kita bisa belajar banyak hal, merangsang otak agar lebih aktif, serta meningkatkan empati kita.
Kekurangan Buku Non-fiksi
Banyak sekali buku non-fiksi yang sangat bagus dan mengubah cara pandang saya terhadap hidup: Buku 7 Habits, buku How to Win Friends and Influence People dari Dale Carnegie, semua buku Morgan Housel, buku Storyworthy dari Matthew Dicks, atau beberapa buku biografi (Malcolm X, Phil Knight, Trevor Noah).
Sekarang pun saya sedang membaca tiga buku non-fiksi, satu tentang perbedaan pria dan wanita (betul sekali, Men from Mars...), satu tentang bagaimana orang Perancis membesarkan bayi mereka, dan satu buku tentang produktivitas.
Jadi, sebenarnya tidak ada masalah dengan buku non-fiksi.
Namun, saya rasa seringkali buku non-fiksi hanya berisi satu-dua topik yang dipanjang-panjangkan. Terkadang saat saya membaca buku non-fiksi, saya teringat sebuah quote dari Joe Weisenthal yang biasa dikutip Morgan Housel:
“Every book should be an article, every article should be a tweet, every tweet should be a retweet."
Buku Start With Why dari Simon Sinek menjelaskan bahwa pemimpin dan organisasi yang hebat selalu memulai dari “Why” atau "mengapa" mereka membuat keputusan atau melakukan sesuatu. Menurutnya, orang tidak membeli apa yang kamu lakukan, tetapi mengapa kamu melakukannya. Dari situ jugalah mereka mampu membangun loyalitas, kepercayaan, serta memberi dampak yang jauh lebih besar ketimbang yang lain.
Saya tertarik membaca buku ini setelah menonton video berdurasi 18 menit di Youtube, ketika Sinek menjadi pembicara di Ted Talk.
Ternyata, yang disampaikannya selama kurang dari 20 menit itu sudah menjabarkan semua isi di dalam bukunya. Ketimbang 14 bab, menurut saya sebenarnya buku itu bisa dipadatkan menjadi kurang dari 5 bab saja.
Begitupun dengan banyak buku non-fiksi lain.
Itu sebabnya, saya mulai belajar untuk "menerima" bahwa tidak semua buku (khususnya non-fiksi) harus dibaca semua sampai habis, kata demi kata.
Dulu saya sempat tidak mau rugi. Karena sudah membeli buku dengan uang, tentu buku tersebut akan menjadi worth of my money kalau tiap kata tidak saya lewatkan. Akhirnya banyak waktu terbuang untuk menghabiskan buku yang sebenarnya tidak saya suka.
Namun waktu juga kan adalah uang. Sekarang, saya lebih nyaman untuk melakukan skimming, lompat-lompat bab, dan mencari apakah topik yang sedang dibahas relatable dengan permasalahan yang saya hadapi atau pengetahuan yang ingin saya cari.
Charlie Munger saja pernah berkata, "Kebanyakan buku yang saya baca, tidak saya selesaikan sampai bab pertama. Saya tidak merasa terbebani oleh buku-buku yang jelek."
Bahkan sebenarnya lagi, buku-buku yang hebat sekalipun mungkin sudah bisa ditutup jauh sebelum bab terakhir. Karena, kan yang terpenting kita menangkap gagasan utama yang disampaikan. Justru sangat jarang kita bisa mengingat semua detail yang tertulis.
Terkadang malah ada juga rasa khawatir dalam diri saya terkait kemampuan otak yang saya miliki. Bagaimana kalau misal setiap kali kita menambah pengetahuan, ternyata kita melupakan sesuatu yang telah kita ketahui sebelumnya? Akhirnya fakta yang kurang berguna jadi menggantikan fakta yang lebih bermanfaat.
Beda dengan buku fiksi. Semakin seru ceritanya, semakin penasaran kita dengan ending-nya.
Itulah sebab musababnya, di umur saya yang sudah kepala tiga ini, saya tidak ragu untuk terus membaca cerita fiksi, bahkan buku fantasi sekalipun. Karena terkadang, petualangan fantasi hanyalah bumbu penyedapnya saja. Sementara nutrisi yang didapat ternyata bisa bermanfaat bagi diri kita.
Kalau kamu, lebih pilih buku apa?