Masalah dari Cepat Kaya

Keputusan finansial yang tampak gila seringkali masuk akal bagi yang menjalani. Tapi apa dampaknya ketika keberuntungan benar-benar datang?

Masalah dari Cepat Kaya
Photo by Waldemar / Unsplash

Morgan Housel, di dalam salah satu tulisannya, bercerita tentang tiket lotre di Amerika.

Dalam satu waktu di tahun 2018, negara bagian Florida menjual 550 tiket lotre per detik. Nilai uangnya melebihi biaya yang dihabiskan sembilan negara bagian untuk pendidikan TK hingga SMA tiap tahunnya.

Peluang menang dari tiket itu adalah satu banding tiga ratus juta. Hampir mustahil.

Dari penelitian yang dilakukan, sebagian besar pembeli berasal dari yang berpenghasilan rendah. Mereka tidak memiliki dana darurat dan sehari-hari hidupnya pas-pasan.

Tidak masuk akal jika uang yang seharusnya bisa dipakai untuk hidup, malah digunakan untuk membeli tiket dengan peluang kemenangan lebih kecil dibanding tersambar petir dua kali.

Keputusan yang Gila?

Di cabang tempat saya bekerja sekarang tidak lepas dari kejadian karyawan yang kecanduan judi online. Tak peduli berkali-kali diingatkan lewat selebaran cetak, lewat grup WA, atau lewat briefing, masih ada saja yang terjebak (atau menjebak dirinya sendiri). Akhirnya setelah uangnya habis, harus pinjam sana pinjam sini agar bisa menghidupi keluarga.

Tidak masuk akal.

Namun apa yang saya pelajari dari Housel adalah bahwa "setiap keputusan yang dibuat setiap orang dirasionalisasikan di kepala mereka ketika mereka membuatnya". Rasionalisasinya mungkin bisa dalam bentuk kemenangan sesaat sewaktu main judi. Atau meyakini nomor togel setelah ditunjukkan di mimpi sebuah susunan angka. Atau melihat plat nomor mobil yang kecelakaan. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Bagi kamu yang membaca tulisan ini mungkin juga menganggap itu pilihan yang aneh dan gila. Tapi, kembali mengutip Housel, kita harus bisa membayangkan yang mereka pikirkan:

Kami hidup pas-pasan dan tidak bisa memiliki tabungan. Prospek untuk memiliki pendapatan yang jauh lebih tinggi tampaknya tidak terjangkau. Kami tidak mampu membiayai liburan yang menyenangkan, mobil baru, asuransi kesehatan, atau rumah di lingkungan yang aman. Kami tidak bisa membiayai sekolah anak-anak kami tanpa utang. Membeli tiket lotre adalah satu-satunya cara dalam hidup di mana kami dapat memiliki mimpi nyata untuk mendapatkan hal-hal bagus yang sudah Anda miliki dan Anda sepelekan. Kami membayar untuk sebuah mimpi, dan Anda mungkin tidak memahaminya karena Anda sudah menjalani hidup seperti mimpi tersebut. Itulah sebabnya kami membeli lebih banyak tiket."

Menurut saya, apa yang mereka lakukan itu salah. Tapi saya pun bisa juga mengerti kenapa mereka melakukan itu.

Sebenarnya, semua orang rentan terhadap bias seperti ini. Termasuk juga orang yang kaya, termasuk juga orang yang pintar. Bahkan orang yang pintar. Karena kebanyakan dari orang pintar, tahu (atau merasa) kalau dirinya pintar, sehingga ia lebih mudah merasionalisasikan keputusannya.

CEO tempat saya bekerja baru-baru ini mengeluarkan surat larangan berpartisipasi dalam judi online dan investasi bodong kepada seluruh karyawan. Surat ini muncul antara lain juga setelah sebagian karyawan menjadi korban scam "baca novel dapat uang".

Karyawan yang terjebak scam novel tadi bukanlah yang tidak berpendidikan atau yang penghasilannya di bawah UMR dan sangat butuh uang. Tapi toh mereka terjerembab juga.

Begitu pun orang-orang yang rugi dari "trading" saham. Orang-orang yang kehilangan hampir seluruh tabungannya karena crypto. Orang-orang yang "bertaruh" pada properti sebelum krisis ekonomi.

"Hanya sedikit orang yang membuat keputusan finansial murni dengan menggunakan spreadsheet. Mereka melakukannya di meja makan atau di dalam rapat perusahaan. Pengalaman pribadi, pandangan personal terhadap dunia, ego, kebanggaan, dan berbagai insentif tergabung menjadi sebuah penalaran, yang mungkin tampak aneh bagi orang lain, tetapi membentuk narasi yang sesuai untukmu."

Kita harus sadar bahwa bukan hanya mereka yang rentan terhadap bias ini, tetapi juga diri kita sendiri. Saya. Kamu.

Mendapat Durian Runtuh, Musibah atau Anugerah?

Apa yang terjadi kalau keputusan gila atau yang tidak masuk akal itu ternyata benar membuahkan hasil?

Ketika hidup kita tiba-tiba mendapat kejutan keberuntungan. Menang lotre, menang judi, membeli bitcoin di harga rendah sebelum esoknya melonjak naik to the moon, atau seperti petani di Tuban yang mendapat uang miliaran akibat menjual lahannya untuk dijadikan kilang minyak.

Rasionalisasi yang awalnya diragukan orang lain, ternyata terbukti benar.

Banyak cerita, bagi sebagian besar orang yang mendapatkan durian runtuh ini, yang terjadi adalah keinginan untuk 1.) menghamburkan uangnya, dan 2.) semakin ingin mendapat lebih banyak lagi.

Maka muncullah fenomena "mudah datang, mudah pergi".

green round fruit on brown concrete surface
Photo by Spencer Wing / Unsplash

Dalam satu momen, mereka flexing pencapaiannya. Mobil baru, rumah baru, jam tangan mewah baru, atau sekadar berapa persen kenaikan angka di portofolio.

Tapi di momen berikutnya, mereka menghilang. Ada yang berhutang, ada yang terjebak pinjol, ada yang harus menjual kembali barang-barang yang dibeli. Atau malah terkena kasus hingga masuk ke penjara.

Akibat mengejar kesempatan untuk lebih kaya dengan cepat, mereka mengabaikan akal sehat dan risiko yang banyak red flagnya. Orang bijak berkata, "If something seems too good to be true, it probably is."

Kekayaan yang dibangun terlalu cepat biasanya rapuh, sama seperti rumput ilalang di taman. Cepat tumbuh, tapi mudah dicabut kembali.

Growing Through Time

Apabila mengambil perbandingan yang sama dari tanaman, maka kekayaan harus seperti pohon beringin. Tumbuh seiring waktu, stabil, kokoh, mantap. Memang butuh waktu lama, tapi dengan akar yang kuat, ia tidak akan mudah tercabut di kala badai.

Ada banyak cerita orang sukses, muncul dari berbagai macam bidang yang berbeda. Tapi, salah satu kesamaan yang mereka miliki adalah kerja keras.

Kita cenderung menghargai sesuatu apabila tidak mudah mendapatkannya. Setelah bekerja keras membanting tulang hingga akhirnya meraih yang kita mau, tentu tidak akan semudah itu kita lepaskan.

Hal lainnya adalah skeptisisme. Hype akan selalu muncul tiap masa. Dulu ada hype saham internet. Ada juga hype properti. Yang baru adalah hype crypto. Sesuatu yang menjadi hype, biasanya overvalued. Nilainya yang sebenarnya tidak sebesar nilai yang digembor-gemborkan.

Penting untuk tidak mudah percaya sebelum memutuskan untuk ikut. Ini juga sangat membantu dalam menghindari investasi bodong.

Satu hal lain yang saya pelajari adalah tidak perlu fokus mengejar return tertinggi. Sesuaikan dengan risiko yang bisa kita tanggung.

Ini sangat terasa terutama saat sudah berkeluarga. Dulu saya tidak masalah jika kehilangan uang karena salah menilai saham. Saya anggap itu adalah biaya belajar. Tapi sekarang, ketika yang saya tanggung bukan hanya diri saya sendiri, saya memilih investasi yang cenderung aman.

Prinsip saya bergeser menjadi lebih baik mendapat return yang kecil tapi terus bertumbuh, ketimbang mengejar return tinggi dengan risiko besar.

Terakhir, soal FOMO. Charlie Munger pernah mengatakan bahwa dunia ini tidak didorong oleh keserakahan, melainkan oleh rasa iri. Saat iPhone terbaru keluar, mobil listrik muncul, atau "kesuksesan" teman terlihat dari postnya di media sosial, kita menjadi takut tertinggal. Begitu juga dengan investasi.

Saya ingat pertama kali semua orang berlomba membeli crypto dan token, termasuk teman-teman dan rekan kerja saya sendiri. Akibat melihat grafik garis yang naik atau influencer dan selebgram yang banyak promosi.

Kembali lagi, skeptisisme juga bermanfaat dalam menghadapi FOMO.

Bandingkan dengan kemampuan diri kita. Bandingkan dengan apa yang sebenarnya kita butuhkan. Bandingkan dengan goal atau nilai yang sudah kita tetapkan sendiri. Apakah suatu barang baru ini dapat membantu kita meraih yang ingin kita capai? Apakah ada data yang mendukung untuk kita ikut serta atau ikut membeli barang tersebut?

"Berpikir dengan data, berbicara dengan data. Tapi kalau ada data, jangan mudah percaya."

Kesimpulan

Keputusan keuangan yang tampak tidak rasional di mata orang lain kemungkinan lahir dari logika dan harapan pribadi yang terasa sangat masuk akal bagi si pengambil keputusan. Bahkan tindakan “gila” seperti menghabiskan uang untuk membeli tiket lotre oleh mereka yang hidup pas-pasan, sering kali berakar dari rasa putus asa dan keinginan untuk bermimpi.

Kita semua, tak peduli seberapa cerdas atau kaya, rentan terhadap bias dan rasionalisasi. Namun justru karena kita menyadari kerentanan itu, kita diberi kesempatan untuk bertindak lebih hati-hati.

Kunci membangun kekayaan bukan bergantung pada keberuntungan sesaat, tetapi pada kerja keras dan proses yang tumbuh seiring dengan waktu, seperti pohon beringin yang berakar kuat.

Hindari godaan kaya dengan cepat, hype, dan tekanan sosial yang mendorong FOMO. Sebaliknya, pahami risiko, ukur kemampuan diri, dan ambil keputusan berdasarkan data dan nilai pribadi, bukan rasa iri. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga keuangan, tapi juga kewarasan dalam menghadapi dunia yang sering kali tidak masuk akal.