Mengejar Dunia Paralel dan Luar Angkasa: Rekomendasi 10 Buku Favorit Saya di Awal 2025
Dari dunia paralel di 1Q84 hingga petualangan luar angkasa di Project Hail Mary, inilah 10 buku menarik yang penuh cerita unik dan ide brilian yang saya baca di triwulan pertama 2025.
Audiobooks dan Kindle membantu saya untuk bisa membaca 10 buku selama 3 bulan pertama tahun 2025. Yap, biasanya itu adalah jumlah dalam 1 tahun. Rasanya memang audiobooks adalah cara yang tepat untuk mengisi waktu karena saya bisa mendengarkannya saat perjalanan pulang pergi kerja. Kalau kamu penasaran, post saya sebelumnya membahas lebih lengkap plus minus dari mendengarkan audiobooks.
Di sini saya akan membagikan sedikit rangkuman dan kesan saya untuk 10 buku tersebut. Adapun urutannya berdasarkan waktu saya selesai membaca, bukan mana yang menurut saya paling bagus (saya akan memberi rating di setiap bukunya).
So, let’s dive in.
#1. Die with Zero: Getting All You Can from Your Money and Your Life - Bill Perkins
Rating: 8.5/10
Buku ini menawarkan perspektif yang menyegarkan tentang hubungan manusia dengan uang dan waktu. Alih-alih mengejar akumulasi kekayaan tanpa akhir, Perkins mengajak pembaca untuk mengoptimalkan hidup dengan menggunakan sumber daya mereka — terutama uang — untuk menciptakan pengalaman berharga. Ia menekankan bahwa menunda kenikmatan demi tabungan yang tidak pernah digunakan sama tragisnya dengan mengumpulkan kayu bakar sepanjang musim panas hanya untuk tidur kedinginan di musim dingin. Melalui berbagai kisah dan logika finansial yang tajam, Perkins mengingatkan bahwa nilai dari uang sesungguhnya terletak pada momen-momen yang bisa kita ciptakan dengannya, bukan pada angka yang bertambah di buku tabungan.
Sebelum membaca Die With Zero, saya adalah tipikal individu yang memandang tabungan sebagai tolok ukur keberhasilan. Semakin besar angka, semakin tenang hati — atau setidaknya, demikian asumsi saya. Namun, buku ini menggugurkan keyakinan tersebut. Die With Zero mengajarkan bahwa uang yang tidak pernah digunakan pada akhirnya hanya akan menjadi angka bisu, sementara waktu dan kesehatan terus berjalan, acuh tak acuh terhadap jumlah saldo.
Perubahan sudut pandang ini, menurut saya, terasa sangat membebaskan. Saya mulai memahami bahwa kehidupan itu bukan hanya tentang mengumpulkan aset sebanyak mungkin, melainkan tentang bagaimana mengalokasikan sumber daya dengan cerdas untuk menciptakan kenangan, pengalaman, dan nilai yang lebih abadi. Lagipula, tidak ada medali penghargaan untuk “manusia dengan tabungan terbanyak saat meninggal”. Kalau pun ada, tentu bukan dirinya sendiri yang diundang untuk mengambil penghargaan itu, kan?
Buku ini memberikan gambaran yang jelas: setiap fase kehidupan menawarkan jenis pengalaman yang berbeda, dan kita perlu berani menginvestasikan waktu dan uang sesuai dengan fase tersebut. Apa gunanya memiliki cukup dana untuk keliling dunia jika pada saat itu kita sudah lebih akrab dengan kursi pijat daripada kursi pesawat?
Saya merekomendasikan buku ini kepada mereka yang sangat fokus pada menabung hingga melupakan seni menikmati hidup. Pengalaman memiliki nilai waktu, dan waktu adalah satu-satunya aset yang sekali berlalu, tidak dapat dikembalikan lagi.
#2. The Answer Is No - Fredrik Backman
Rating: 8/10
Di dunia yang selalu mendorong kita untuk bilang “ya” pada segala kesempatan, The Answer is No karya Fredrik Backman hadir sebagai pengingat sederhana bahwa terkadang, memilih untuk menolak adalah keputusan paling berani.
Buku ini bercerita tentang Noah, seorang pria yang sudah sampai pada titik hidup di mana ia merasa tidak lagi perlu mengikuti ekspektasi siapa pun. Noah digambarkan sebagai sosok yang lugas, sinis, namun justru itu yang membuatnya terasa relatable. Dalam berbagai situasi sehari-hari, mulai dari menolak ajakan kegiatan komunitas hingga dengan santai menghindari percakapan basa-basi, Noah menunjukkan bahwa “tidak” adalah jawaban yang sah, bahkan perlu, demi menjaga prioritas. Terkadang, mengutamakan batas pribadi justru adalah bentuk paling tulus dari rasa hormat, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.
Singkat, lucu, tapi mengena. Itulah buku ini. Cocok untuk siapa saja yang merasa hidupnya terlalu penuh, terlalu sibuk, dan sesekali ingin ‘egois’ demi diri sendiri.
#3. What I Talk About When I Talk About Running - Haruki Murakami
Rating: 7.5/10
Ternyata salah satu percakapan paling jujur tentang hidup justru bisa terjadi saat sedang berlari. Sendirian, lelah, dan akhirnya timbul pertanyaan: kenapa tidak memilih aktivitas lain yang lebih masuk akal. Dalam What I Talk About When I Talk About Running, Haruki Murakami mengajak pembaca masuk ke ruang paling pribadi dalam hidupnya, yaitu jalanan panjang tempat ia berlari dan meja sunyi tempat ia menulis. Buku non-fiksi ini ternyata bukan sekadar tentang olahraga, melainkan tentang bagaimana lari bisa menjadi cermin kedisiplinan, ketekunan, dan cara berdamai dengan diri sendiri. Dengan gaya tulis khasnya, Murakami membagikan perjalanan hidup tanpa dramatisasi berlebih.
Menurut Murakami, bicara tentang lari itu sama seperti bicara tentang hidup. Ada hari-hari ketika semua terasa lancar dan ada hari-hari ketika setiap langkah terasa berat. Ia seakan menertawakan kelemahannya sendiri, seperti saat ia sadar kalau dengan bertambah usia bukan hanya membuat kecepatan larinya menurun, tetapi juga menimbulkan alasan-alasan di kepala untuk berhenti. “Pain is inevitable. Suffering is optional.” ‘Rasa sakit' adalah kenyataan yang tidak terelakkan, tetapi apakah sanggup bertahan atau tidak, bergantung pada si pelari itu sendiri.
Buku ini cocok bagi siapa saja yang mencari bacaan reflektif tentang ketekunan dan rutinitas tanpa bumbu motivasi yang berlebihan.
#4. The Great Gatsby - F. Scott Fitzgerald
Rating: 7/10
Terkadang, yang membuat hidup terasa getir bukanlah kegagalan kita sendiri, melainkan kenyataan bahwa tidak semua mimpi memang layak untuk dikejar. Bacaan klasik yang terkenal, terutama akibat meme Leonardo diCaprio dengan gelas champagne-nya. Dalam The Great Gatsby, Fitzgerald membungkus kegilaan mimpi Amerika dengan kemewahan pesta, jazz, dan cinta yang seakan tidak pernah tumbuh dewasa. Buku ini membawa pembaca ke dunia Jay Gatsby, seorang pria misterius yang menghabiskan hidupnya mengejar bayangan masa lalu, dengan pesona, uang, dan ilusi yang bisa dibeli.
Gatsby adalah sosok yang sulit dibenci: ia penuh harapan, penuh cita-cita, namun sekaligus sangat naif. Fitzgerald menunjukkan bahwa meskipun kita bisa membeli rumah megah, menggelar pesta termewah hampir setiap malam, atau mengenakan jas paling mahal sekalipun, tetap saja tidak ada jaminan bahwa hati yang kita inginkan akan berpaling (cakep). Seperti yang dikatakannya di akhir cerita, “So we beat on, boats against the current, borne back ceaselessly into the past.” Pengingat pahit betapa kuatnya manusia berusaha maju, ia akan terus ditarik oleh masa lalu.
The Great Gatsby adalah bacaan wajib bagi siapa pun yang pernah bertanya apakah hidup ditentukan oleh apa yang kita miliki, atau oleh apa yang diam-diam kita rindukan. Cerita ini sederhana, tapi bisa menyisakan kesan. Sama seperti lagu lama yang tetap kita dengarkan, meskipun kita tahu, liriknya sudah tidak sejalan.
#5. 1Q84 - Haruki Murakami
Rating: 8.5/10
Murakami dan dunia paralelnya. Kalau di bukunya yang lain ada orang yang bisa berbicara dengan kucing dan ada hujan kodok, di buku ini ada dunia dengan dua bulan. 1Q84 mengisahkan tentang Aomame dan Tengo, dua jiwa kesepian yang tersesat di dunia paralel, serupa namun tak sama. Selain dua bulan di langit, ada sekte rahasia dan ada rasa rindu yang bertahan melintasi dimensi. Murakami membangun atmosfer absurd ini dengan lihai dan membuat segala keanehan terasa wajar. Tipikal karyanya.
Aomame, seorang pembunuh bayaran dengan penyamarannya yang rapi, dan Tengo, seorang penulis pemula yang terjerat kasus misterius. Mereka seolah-olah berjalan beriringan tanpa pernah bertemu. Dunia 1Q84 memang penuh tanda tanya, tapi ada quote yang berkesan bagi saya. “If you can’t understand it without an explanation, you can’t understand it with an explanation.” Dan memang, 1Q84 bukan untuk dibedah logikanya habis-habisan, melainkan hanya untuk dinikmati.
Membaca 1Q84 (atau sebenarnya hampir semua karya Murakami) terasa seperti memasuki dunia yang tidak pernah berniat untuk dijelaskan. Ada bagian yang tidak masuk akal, ada yang dibiarkan menggantung, tapi justru itu yang membuat saya menyukai buku ini.
Saya merekomendasikan 1Q84 untuk siapa pun yang nyaman menjelajah dunia tanpa peta logika yang jelas, namun tetap tergoda untuk terus mengikuti setiap belokan ceritanya. Seperti karya Murakami lainnya, novel ini bukan soal mencari jawaban, melainkan soal menikmati perjalanan. Sesekali mengerutkan dahi, sesekali tersenyum tanpa alasan, dan akhirnya menyadari bahwa keanehan itu sendiri yang membuatnya begitu memikat.
6. No Country for Old Men - Cormac McCarthy
Rating: 8/10
Dalam No Country for Old Men, Cormac McCarthy menghadirkan dunia yang brutal dan tanpa kompromi, di mana kekerasan bukan lagi sesuatu yang mengejutkan, melainkan bagian dari rutinitas. Cerita berpusat pada Llewelyn Moss, seorang pria biasa yang secara tidak sengaja menemukan koper berisi uang di lokasi baku tembak antar kartel narkoba. Keputusan itu menyeretnya ke dalam kejar-kejaran mematikan
McCarthy menulis dengan gaya yang sangat efisien, menciptakan suasana yang memperbesar ketegangan. Lewat karakter Anton Chigurh, kita diperkenalkan pada sosok pembunuh psikopat yang dingin, tidak bisa diprediksi, dan sadis. Sementara Sheriff Bell, sosok polisi tua yang berusaha memahami kebingungan akan kekerasan di dunia modern, menambah lapisan refleksi yang membuat novel ini lebih dari sekadar cerita kejar-kejaran.
Bagi saya yang baru mengenal McCarthy, No Country for Old Men terasa berbeda dari novel kriminal biasa. Tidak ada kemenangan, tidak ada keadilan mutlak. Justru dalam ketidakpastian dan kekosongan itulah buku ini menemukan kekuatannya.
#7. Never Split the Difference: Negotiating as if Your Life Depended on It - Chris Voss
Rating: 6.5/10
Ya, ya, ya. Mungkin banyak yang tidak setuju dengan rating yang saya berikan. Baik itu di Youtube, Tiktok, Instagram dan sebagainya, sering sekali memasukkan buku ini ke dalam list ‘must read’. Ratingnya di Goodreads pun sangat tinggi. Apakah karena itu ya, jadinya ekspektasi saya terlalu tinggi sebelum membaca buku ini?
Sebagai buku yang menawarkan teknik negosiasi berdasarkan pengalaman Chris Voss di dunia penyanderaan, Never Split the Difference memiliki banyak momen menarik dan strategi taktis. Namun, dalam membaca buku ini, saya merasa ada jarak yang cukup besar antara konsep yang disampaikan dengan realitas yang saya hadapi. Bukan soal latar belakang kasusnya, melainkan lebih pada gaya negosiasi yang tampaknya sulit diterapkan di konteks budaya Indonesia, yang cenderung lebih mengutamakan kesopanan, kompromi, dan relasi jangka panjang daripada konfrontasi langsung atau permainan psikologi yang terlalu intens. Selain itu, nuansa promosi terhadap pelatihan yang dimiliki Voss terasa cukup dominan, sehingga sesekali mengurangi kenikmatan membacanya.
Meski demikian, saya tetap mengapresiasi beberapa prinsip dasar yang diajarkan, seperti pentingnya mendengarkan secara aktif dan memahami emosi lawan bicara. Mungkin sedikit banyak harus ada modifikasi untuk bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari.
#8. Project Hail Mary - Andy Weir
Rating: 8/10
Project Hail Mary membawa kita ke luar angkasa dalam misi yang, di atas kertas, terdengar hampir mustahil. Ryland Grace, seorang guru sains biasa, mendapati dirinya terbangun sendirian di pesawat luar angkasa tanpa ingatan. Perlahan ia menyadari bahwa ternyata nasib seluruh umat manusia bergantung pada dirinya. Premis yang sekilas terasa tidak masuk akal, justru menjadi kekuatan utama buku ini. Andy Weir mengemas sains kompleks dengan gaya bercerita yang ringan, penuh humor, dan memiliki daya tarik emosional.
Bagi yang sudah pernah membaca atau menonton The Martian, Project Hail Mary mungkin menawarkan pengalaman serupa. Weir masih setia pada formula sains yang akurat (atau setidaknya terasa meyakinkan) dipadu dengan karakter utama yang cerdas, lucu, dan penuh akal. Meskipun banyak bagian cerita yang mengandalkan keberuntungan atau bisa dibilang Deus ex Machina. Solusi problemnya juga kadang terasa “ajaib”. Tetapi gaya penceritaannya membuat saya rela menerima hal yang tidak masuk akal tersebut (apalagi saya membaca buku ini setelah 1Q84).
Dengan adaptasi film Project Hail Mary yang akan segera tayang, ini saat yang tepat untuk membaca novelnya terlebih dahulu. Buku ini bukan hanya tentang misi penyelamatan dunia, tetapi juga tentang persahabatan antar spesies, ketekunan menghadapi hal mustahil, dan bagaimana humor kadang bisa menjadi satu-satunya bahan bakar ketika semua kemungkinan logis sudah habis. Bagi siapa pun yang menikmati perpaduan antara sains, optimisme, dan sedikit keajaiban narasi, Project Hail Mary adalah bacaan yang tidak boleh dilewatkan.
#9. Adventures of Huckleberry Finn - Mark Twain
Rating: 6/10
Sebagai salah satu karya sastra klasik Amerika, Adventures of Huckleberry Finn memberikan potret masyarakat Selatan Amerika di era sebelum abolisi perbudakan. Melalui petualangan Huck dan Jim, seorang budak kulit hitam, di sepanjang Sungai Mississippi, Mark Twain menyajikan cerita tentang persahabatan, arti kebebasan, dan benturan nilai-nilai sosial.
Tidak bisa dipungkiri bahwa membaca Huckleberry Finn juga menghadirkan tantangan tersendiri. Salah satu hambatan utama untuk saya adalah penggunaan bahasa lokal, termasuk dialek “Negro English”, yang membuat percakapannya sulit dibaca dan kadang membuat alur cerita jadi tersendat.
Walau begitu, mengingat latar sejarah ketika buku ini ditulis, di mana orang kulit hitam masih diperbudak dan diskriminasi rasial masih kental, saya mengagumi Mark Twain yang berani memberi komentar sosial yang tajam atas kondisi pada zamannya tersebut.
Adventures of Huckleberry Finn adalah karya yang penting bukan hanya karena ceritanya, tetapi karena keberaniannya menampilkan isu-isu sensitif dengan humor dan kejujuran. Bagi kamu yang tidak masalah dengan bahasa yang kadang sulit serta alur yang sesekali melompat, buku ini menawarkan refleksi yang berharga tentang moralitas, kebebasan, dan bagaimana perubahan sosial sering kali dimulai justru dari keputusan kecil yang penuh keberanian.
#10. Batman: The Killing Joke - Alan Moore
Rating: 6.5/10
Oke, saya akui nomor terakhir ini agak curang. Bukan buku melainkan komik. Tapi daripada list-nya hanya 9, jadi malah janggal kan ya?
Sebagai salah satu kisah yang katanya paling berpengaruh dalam sejarah komik Batman, The Killing Joke karya Alan Moore menawarkan sudut pandang yang lebih gelap dan psikologis terhadap hubungan antara Batman dan Joker. Buku komik ini memperlihatkan sisi rapuh dari pahlawan dan penjahat yang kita ‘kenal’, diwarnai dengan kekerasan dan ironi yang terasa cukup menyesakkan.
Saya pribadi memang memiliki ketertarikan terhadap karya Alan Moore, terutama setelah membaca Watchmen. Moore berhasil membangun cerita yang pendek namun penuh bobot, menyajikan Joker bukan sekadar sosok jahat tanpa alasan, melainkan seseorang yang, dengan kata-katanya sendiri, percaya bahwa “All it takes is one bad day to reduce the sanest man alive to lunacy.” Kutipan ini bukan hanya menjadi inti cerita, tetapi juga menyoroti betapa tipisnya batas antara kewarasan dan kegilaan.
Tidak semua bagian cerita nyaman untuk dinikmati. Kalau kamu kurang siap dengan penggambaran kekerasan yang eksplisit, sepertinya buku komik ini akan kurang cocok. Tapi ini bisa jadi bacaan yang menarik bagi yang ingin menyelami psikologi karakter seorang Joker, terutama bagi pembaca yang, seperti saya, mengagumi cara Alan Moore mengangkat genre komik ke ranah sastra yang lebih serius.
Itulah 10 buku yang saya baca di triwulan pertama 2025, semoga bisa membuatmu tertarik juga untuk membacanya.
Di bulan April ini saya sudah menyelesaikan tiga buku. Satu tentang petualangan dan action yang seru, satu membuat hati remuk dan satunya lagi mungkin menjadi kandidat buku yang paling tidak saya suka.
Kalau kamu punya rekomendasi buku bagus, kamu boleh share ke saya lewat website ini atau lewat email pratidina13@gmail.com.